Wae Rebo! Sebuah desa yang hanya bisa dicapai dengan jalan kaki selama tiga jam dari desa terdekat – Desa Denge, terletak di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Lokasinya di lembah. Sebuah desa yang baru ditemukan oleh orang lokal pada tahun 2008. Dulu yang mengetahui keberadaan desa ini hanyalah orang asing. Kemudian tahun 2008, berkat upaya sekumpulan arsitek Indonesia, desa ini akhirnya ditemukan.
Desa Dange, Akses Masuk Ke Wae Rebo
Perjalanan ke Desa Denge dapat ditempuh melalui perjalanan darat selama kurang lebih lima jam dari Labuan bajo. Sebaiknya berangkat dari Labuan Bajo sepagi mungkin, agar tidak kesiangan sampai di Desa Denge, sehingga tidak kesorean juga sampai di Wae Rebo. Desa Denge merupakan satu-satunya desa yang menjadi akses pintu perjalanan ke Wae Rebo. Disinilah titik awal petualangan kami dimulai.
Terdapat beberapa pilihan rumah persinggahan di Desa Denge. Di sini kami disuguhi makan siang terlebih dahulu sebelum berangkat trekking. Kami pun dapat menitipkan kendaraan dan barang-barang yg tidak perlu dibawa ke Wae Rebo. Jadi kami hanya bawa baju secukupnya, di pack di satu carrier dan dibantu bawa oleh seorang porter. Begitu kami kembali dari Wae Rebo, di tempat ini pula kami boleh numpang mandi dan lagi-lagi disuguhi makan siang enak sebelum melanjutkan perjalanan.
Tiga Jam Trekking Menuju Wae Rebo
Kira-kira pukul 2 siang kami sudah harus berangkat dari rumah persinggahan menuju panggalan ojek. Oleh mas ojek, kami dibawa ke lokasi terakhir beraspal sebelum kami memulai perjalanan kami masuk ke hutan. Kami dibekali tongkat tinggi untuk memudahkan perjalanan kami jika mulai lelah. Tidak lupa pula membawa jas hujan, berjaga-jaga jika hujan turun di tengah perjalanan, dan air minum di dalam botol secukupnya, karena selama perjalanan tidak akan bertemu warung yang menjual minum hehe. Jika membawa botol plastik dan makanan, jangan lupa untuk menyimpan sampahnya ya!
Sepanjang perjalanan trekking di dalam hutan, kami dapat mendengar suara-suara hewan yang tidak pernah kami dengar di kota besar. Suara burung, serangga, elang, dan angin campur menjadi satu. Sungguh merdu. Kami juga bertemu dengan serangga-serangga yang jarang dijumpai di perkotaan. Jangan kaget kalau tiba-tiba ada lintah yang hinggap di kaki. Di beberapa pos istirahat kami pun dapat berhenti duduk menikmati pemandangan alam.
Setelah kami trekking kurang lebih tiga jam, akhirnya kami sampai di pos terakhir, pos sebelum kami menginjakkan kaki di Kampung Wae Rebo. Pos ini bernama Rumah Kasih Ibu. Sebelum memasuki Kampung Wae Rebo, setiap pengunjung diwajibkan untuk membunyikan alat musik tabuh yang ada disini, sebagai penanda tamu datang. Setelah membunyikan alat musik, kami wajib berkunjung ke rumah Gendang terlebih dahulu untuk melakukan upacara adat, setelah itu baru diperkenankan beraktivitas di kampung. Selama berjalan dari Rumah Kasih Ibu ke rumah Gendang, kami tidak diperbolehkan mengambil gambar apapun sebelum melakukan upacara.
Situs Warisan Dunia UNESCO Sejak 2012
Setelah melakukan upacara adat, kami diantar ke salah satu rumah adat untuk dapat beristirahat. Ada 7 rumah adat berbentuk kerucut yang dinamakan Mbaru Niang, tetapi hanya 1 rumah yang diperbolehkan untuk ditiduri oleh tamu. Sisanya rumah adat ini masih ditempati oleh warga lokal. Seluruh rumah adat disini terbuat dari kayu dengan atap dari ilalang yang dianyam (jadi tidak ada yang dipaku sama sekali). Jadi tidak heran jika Wae Rebo telah menjadi situs warisan budaya dunia oleh UNESCO sejak 2012.
Warga adat Kampung Wae Rebo masih menjalani adat istiadat, dan hidup berdampingan dengan alam. Sehingga kami sebagai tamu yang berkunjung, diajak untuk ikut memelihara lingkungan alam dan kampung, serta menjaga kelestarian adat dan budaya selama kunjungan. Jika merokok, jangan membuang sampah rokok sembarangan, apalagi rumah adat terbuat dari material yang mudah terbakar. Jika membawa permen dan cemilan untuk dibagikan ke anak-anak Wae Rebo, sebaiknya diberikan ke warga dewasa, agar mereka yang membagikannya.
Sudah dua kali saya berkunjung ke Waerebo. Kunjungan kedua sama sekali tidak membuat rasa kagumku memudar. Desa yang cantik, desa yang mempesona. Menginap semalam di desa ini, tidur dan makan dilakukan beramai-ramai dengan tamu yang lain. Tidak ada sinyal, maka mau ga mau kita akan berbaur dengan sesama tamu. Malamnya melihat bintang, paginya berbaur bermain dengan anak-anak Wae Rebo. Masyarakat disini pun sangat ramah. Jika kita berpapasan dengan mereka, pasti mereka akan bilang “Halo!” dengan senyum lebar walaupun kita tidak saling mengenal.
Makanan Lokal dan Tenunan Mama
Selama disini, kami disuguhi makanan khas lokal, yakni nasi jagung, yang dibuat oleh Mama-Mama kampung (panggilan Ibu di Flores). Walaupun lauknya sederhana, tapi rasanya nikmat. Apalagi ditambah dengan suguhan kopi yang berasal dari perkebunan mereka sendiri di sekitar Kampung Wae Rebo.
Disini kita dapat membeli tenun khas Wae Rebo yang ditenun oleh Mama-Mama, juga bubuk atau biji kopi Manggarai hasil perkebunan Kampung Wae Rebo yang sudah dikemas menjadi buah tangan. Jangan lupa bawa uang cash yang cukup ya, karena jika ingin membeli sesuatu disini hanya dapat dibayar dengan cash.
Kalau kalian beruntung, kalian datang di saat sedang panen biji kopi, sehingga dapat ikut melihat proses biji kopi diambil dan dijemur oleh warga. Kalau mau datang ketika rame anak-anak, datanglah pas libur sekolah. Karena kalau sedang sekolah, mereka tinggal dengan kerabat di kampung terdekat. Dan lucu sekali ketika saya bertemu anak yang tiga tahun lalu saya gendong karena belum bisa jalan, sekarang sudah bisa lari-larian. Seakan saya ikut menyaksikan pertumbuhan mereka. Mungkin ketika saya datang lagi suatu saat nanti, anak-anak yang saya gendong ini sudah beranjak remaja.
Desa Wae Rebo. Desa kerucut di balik bukit. Desa dengan seribu senyuman. Desa yang membuat saya makin mensyukuri banyak hal, dan makin membuat saya cinta negeri ini. Berjalan kaki selama tiga jam serasa tidak artinya dibanding pengalaman dan pemandangan yang kami dapat disini. Tanah Timur, kamu sungguh menawan!
Writer & Photos by Ochie Tobing
No comment